Sejarah Desa Carangsari

Sebelum abad ke 14 wilayah Desa Carangsari yang sekarang ini merupakan sebuah hutan belantara. Dalam wilayah hutan tersebut telah ada beberapa Desa. Desa – desa itu adalah Desa Telugtug, Desa Bebalang, dan Desa Alas Wayah. Ketiganya berdiri pada wilayahnya masing – masing. Letaknya pun cukup berjauhan.
Ketiga Desa tersebut ternyata sudah mempunyai pimpinan masing – masing. Desa Bebalang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Bebalang, Desa Telugtug dipimpin oleh Mekel Telugtug, serta Brahmana Batulumbang/manuaba memimpin Desa Alas Wayah.
Desa – desa tersebut diapit oleh dua buah sungai, yaitu : di sebelah timurnya adalah sungai Ayung dan sebelah baratnya sungai Penet. Di sebelah utara Desa masih merupakan hutan belantara. Demikian pula disebelah selatan masih bmerupakan hutan, sehingga Desa – desa tersebut seakan – akan mengelompok pada suatu kawasan.
Kira – kira pada abad ke 14, datanglah I Gusti Ngurah Gede Oka Pacung Sakti beserta para pengikutnya ke alas wayah beliau merupakan pucuk pimpinan ( Pajenengan ) Pahyangan yang terletak di sebelah timur sungai Ayung. Kedatangan beliau itu disambut dengan baik oleh Brahmana Batulumbang.
Maksud kedatangan beliau I Gusti Ngurah Gede Oka Pacung Sakti pun diutarakan. Beliau dating kea rah barat ini karena telah terjadi kerusuhan di Pahyangan, sehingga menimbulkan perang hebat. Pengejaran dilakukan, semula kearah timur tetapi tidak didapati juga. Akhirnya, dilacak kea rah barat, hingga ke wilayah ini.
Adapun pelaku kerusuhan itu adalah Patih Agung Puri Pahyangan sendiri, yaitu : I Gusti Ngurah Taro. Dalam pengejaran yang memakan waktu cukup lama itu, I Gusti Ngurah Gede Oka Pacung Sakti ( Arya Sentong ) mengikut sertakan seluruh isi Puri, sehingga Puri dalam keadaan kosong. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh I Guasti Ngurah Taro untuk merebut kekuasaan. Perang berkobar dimana – mana. I Gusti Ngurah Taro mendapat dukungan beberapa Raja sekitar Pahyangan yang terkena asutannya, sehingga Puri dapat dikuasainya.
Sebenarnya, Patih Agung Pahyangan takut berhadapan muka langsung dengan Pajenengan Puri Pahyangan, mengingat bahwa beliau mempunyai Pusaka keramat peninggalan dari Leluhur beliau yang bernama “ Siung Bethara Kala “. Pusaka tersebut diperoleh leluhur beliau atas pemberian ( Paican ) Ida Bathara Kala. Pantangan utama Pusaka tersebut adalah tidak boleh dibawa mundur atau menghindar saat peperangan. Sekali terhunus harus terus maju sampai berakhir. Disamping Pusaka andalan tersebut, beliau membawa Pusaka lain, termasuk Keris Pusaka Kasursari.
Dengan bantuan Raja – raja sekitar yang masih setia dengan Pajenengan Puri yang Sah, Putra Angkat Arya Sentong berhasil merebut kembali kekuasaan ayah angkatnya. Putra Angkat tersebut adalah pemberian ( Paican ) dari Dalem Kelungkunga yang bernama I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka. Beliau kemudian mencari ayahnya yang masih ada di Alas Wayah. Kedatangan beliau itu dengan maksud agar ayahnya bersedia untuk kembali memegang Tampuk Pimpinan di Puri Pahyangan.
Permohonan I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka ditolak oleh Arya Sentong dengan alas an bahwa beliau tidak meninginkan di kemudian hari terjadi hal – hal yang tidak baik. Adapun pertimbangannya adalah selain anak/putra angkatnya itu beliau telah berputra pula. Kelahiran putra beliau ini adalah sesudah putranya Dalem Kelungkung tersebut menjadi Suputran.
I Gusti Ngurah Gede Oka Pacung Sakti kemuadia mengukuhkan I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka untuk memegang Tampuk Pimpinan Puri Pahyangan. Anaknya pin tidak bisa menolak, terlebih – lebih setelah mendengar penuturan Ayahnya sebagai bahan pertimbangan yang memaksanya untuk menerima Keputusan.
Sebagai perwujudan Cinta kasih dan baktinya suputra terhadap Ayahnya, ia bersumpah setia untuk tetap senasib sepenanggungan dengan orang tua/keluarganya di Alas Wayah. Apa yang dialami oleh keluarganya tersebut harus pula dialaminya di Puri Pahyangan. Cetusan hati yang tulus tersebut disambut baik oleh Ayahandanya dengan Doa Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa Asung Wara Kerta Lugraha ( Kertha Raharja ) untuk selama – lamanya. Pengukuhan tersebut ditandai pula dengan pemberian Keris Pusaka Kasursari oleh Ayahnya.
Selang beberapa waktu, berita tentan tinggalnya I Gusti Ngurah Gede Oka Pacung Sakti di Alas Wayah didengan oleh Pemekel Telugtug dan I Gusti Ngurah Bebalang. Kedua Mekel tersebut kemudian berkunjung ke Alas Wayah untuk memohon agar Arya Sentong bersedia/berkenan memimpin wilayah mereka, tinggal dan membangun Puri di Wilayah Mekel masing – masing. Pembicaraan pun terjadi dengan disaksikan oleh Brahmana Batulumbang. Mereka mencapai kata mufakat dengan bersedianya Arya Sentong menjadi Pimpinan di wilayah Barat Sungai Ayung. Namun, beliau mengajukan syarat bahwa beliau harus berada di tengah – tengah kedua Mekel. Kemudian, dipilihnya letak Puri, yaitu : Puri Carangsari Sekarang, yang juga tepat lahirnya Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai.
Kata “ Carangsari “ mengandung pengertian bahwa Pimpinan harus selalu berada di tengah – tengah masyarakat. Menengahi segala permasalahan yang ada dengan bijaksana, menyatu dengan masyarakat. Puri Carangsari juga terletak di tengah – tengah sebagai Pusat ( Titik Tengah ) ketiga Wilayah Tersebut.
Brahmana Batulumbang kemudian dimohon oleh I Gusti Ngurah Gede Oka Pacung Sakti meninggalkan Geria Alas Wayah dan membangun Geria di Carangsari. Sejak saat itu, wilayah Telugtug, Bebalang, dan Alas Wayah tergabung dan disebut dengan : Desa Carangsari. Arti Ganda Carangsari adalah bahwa setiap tumbuhan apa saja yang ditanam akan dapat tumbuh dengan subur. Untuk wilayah hutan yang berada di sebelah Utara Desa di sebut Gunungsari.
Nama Carangsari pada masa pemerintahan Kolonial Belanda ditetapkan sebagai nama Kemancan. Pusat Manca ada di Desa Carangsari dengan wilayahnya meliputi Kecamatan Petang Sekarang.
Demikian dapat kami sampaikan sejarah singkat Desa Carangsari yang dapat dan berhasil digali serta dikumpulkan dari para Tetua Adat, Sesepuh Desa, Pengelingsir Puri Carangsari, dan Para Pakarsejarah yang ada di Desa Carangsari.
Komentar baru terbit setelah disetujui Admin